Review Film Maze Runner: The Death Cure


Every maze has an end. Begitulah line yang diusung oleh film pamungkas seri trilogi yang berjudul Maze Runner: The Death Cure. Di sini lah perjuangan para penggemar cerita young adult dystopian ini dalam menunggu aksi Thomas dan kawan-kawan akhirnya berakhir. Film ini berangkat dari novel karangan James Dashner dengan judul yang sama. The Death Cure  dirilis secara resmi pada tanggal 26 Januari 2018 yang lalu di Amerika, sementara poster now showing-nya sudah muncul di bioskop-bioskop tanah air sejak tanggal 23 Januari yang lalu. Tanggal rilisnya sempat mundur satu tahun dari yang dijadwalkan karena kecelakaan yang terjadi pada Dylan O'Brien dalam set ini, namun film The Death Cure tetap menjadi salah satu yang ditunggu-tunggu (atau mungkin dihindari?)


Bagi mereka yang bukan penggemar, biasanya akan menyangka ini adalah film zombie. OKAY, BUKAN. Bagi mereka yang sudah mengikuti The Maze Runner dan The Scorch Trials, pasti sudah bisa menebak kalau film ini bercerita tentang perjuangan Thomas (Dylan O'Brien) dan kawan-kawannya untuk menyelamatkan Minho (Ki Hong Lee) yang dibawa oleh kelompok scientist bernama WICKED (World in Cathastrophe: Killzone Experiment Department) setelah pengkhianatan yang dilakukan Teresa (Kaya Scodelario). Dibantu oleh Newt (Thomas Brodie Sangster), Frypan (Dexter Darden), Jorge (Giancarlo Esposito), Brenda (Rosa Salazar), dan Vince (Barry Pepper), mereka berusaha untuk "mencuri" gerbong kereta WICKED dalam perjalanannya ke The Last City. Meskipun akhirnya mereka bisa menyelamatkan puluhan anak yang akan dijadikan subyek eksperimen, namun sayangnya Minho berada di gerbong kereta yang lain. Mereka pun akhirnya mencari jalan untuk masuk ke The Last City, markas besar WICKED yang dibentengi tembok tinggi, melindungi kelompok mereka dan warga yang tidak terinfeksi oleh The Flare Virus dan Crank. Dalam perjuangannya kali ini, Thomas mendapat bantuan dari salah satu tokoh yang tak disangka-sangka kembali dari kematian, atau kalau menurut si tokoh, "you left me to die." Mereka memanfaatkan Teresa yang sekarang bekerja untuk WICKED untuk menerobos dan mematahkan sistem keamanan organisasi yang mengatasnamakan kemanusiaan tersebut.  Teresa sendiri membantu WICKED bereksperimen mencari obat yang bisa membunuh virus The Flare. Thomas pun harus membayar mahal segala upayanya untuk melawan WICKED dengan kematian orang-orang terdekatnya.


Kali ini, Wes Ball berhasil untuk membawa penontonnya kembali ikut tegang mengikuti langkah Thomas dan kawan-kawan dalam perjuangannya melawan WICKED, Ava Paige (Patricia Clarke), dan Janson (Aidan Gillen). Adegan pertama yang melibatkan kereta cukup panjang, benar-benar membuat nafas tertahan. Bahkan saking serunya, saat scene judul besar Maze Runner: The Death Cure keluar saya sampai berpikir, "Hah, itu tadi baru scene opening?" Film ini juga dibumbui adegan mengagetkan, misalnya saja saat Thomas, Newt, dan Frypan berada di tunnel dan crank bermunculan, sempat terdengar penonton depan dan samping berteriak. Cerita di film ini memang berbeda dengan buku karangan James Dashner, tetapi menurut saya masih bisa sekali untuk diikuti karena jalan ceritanya juga masih nyambung. Selain itu, cerita juga masih bisa membuat penasaran tentang bagaimana cara si sutradara bisa membawa cerita film ini ke akhir yang seemosional bukunya dengan eksekusi yang berbeda. Dan hal itu terbukti. Menuju menit-menit akhir cerita, bagian yang dilabeli "forbidden page" oleh para penggemarnya disuguhkan dengan sangat luar biasa mengiris hati. Bagian ini adalah highlight-nya, entah sebenarnya ditunggu-tunggu atau sebaiknya dihindari. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya di sini, seluruh isi teater yang menonton film ini dari yang awalnya masih senang dan tegang berubah menangis serentak. Saya sendiri sudah tiga kali menonton The Death Cure, dan tetap menangis untuk kesekian kalinya di bagian ini, padahal saya bukan tipe penonton yang gampang menangis dan sedih berhari-hari hanya karena film. Hal lain yang bisa dilihat, dialog para pemainnya juga bisa dibilang ringan dan mudah dimengerti. Penampilan pemain-pemainnya juga patut diapresiasi karena di film ini mereka lebih dewasa dan matang dalam membawakan perannya, terutama Dylan O'Brien dan Thomas Brodie Sangster yang chemistry-nya semakin nyata.




Film ini baik ditonton dalam berbagai versi, mungkin bila ada versi 3D di Indonesia akan menjadi pengalaman seru untuk menutup kisah ini. Saya sendiri berhasil mencetak rekor dalam menonton The Death Cure, di mana saya sudah menontonnya dalam versi 2D, 4DX, dan IMAX. The Death Cure dalam versi 4DX juga sangat menyenangkan, karena berbagai ketegangan dan guncangan dalam film ini juga ikut dirasakan penonton. Sekali lagi, adegan kereta adalah bagian paling juara untuk 4DX. Namun sayangnya, untuk aroma yang disediakan kurang pas. Misalnya saat adegan di gurun dan kebakaran, aroma yang disemprotkan di ruangan sepertinya adalah aroma padang rumput, yang sayangnya mendominasi keseluruhan film (meski sekali sempat tercium bau got saat adegan tunnel). Angin yang diberikan juga lebih banyak angin dingin, padahal adegan banyak terjadi di tempat gersang dan juga reruntuhan kebakaran yang seharusnya memberikan tiupan hangat. Sementara dalam versi IMAX, gambar yang ditampilkan benar-benar jernih dan lebih nyata, sesuai dengan yang diusung IMAX yaitu menyajikan crystal clear image. Sangat memuaskan mata para penggemar aktor-aktornya.

Meskipun begitu, ada beberapa hal yang cukup disayangkan sebenarnya. Thomas mendapatkan banyak sekali bantuan tak terduga dari rekan-rekannya, membuat kesan bahwa perjuangan Thomas kurang dramatis dan kurang sengsara. Ada pula cerita yang akhirnya mengarahkan kita untuk dengan mudahnya menebak kalau salah seorang villain terjangkit The Flare.

Overall, film sepanjang 141 menit ini adalah salah satu yang terbaik dari franchise Maze Runner. The Death Cure juga sempat merajai box office sejak minggu perdananya hingga kurang lebih dua minggu. Kini penghasilannya mencapai 229 juta USD dari pemutaran di seluruh dunia hingga minggu ketiga. Cukup menguntungkan untuk film ber-budget 62 jutaan USD ini. 

Note tambahan:
Makhluk yang terinfeksi virus the flare disebut sebagai Crank. Crank bukan 100% zombie meskipun mereka dideskripsikan sebagai zombie-like dengan gaya berjalan yang dibilang sama. Crank awalnya adalah manusia, tidak bangkit dari kematian, masih bisa bicara seperti manusia, dan tidak memakan otak. Sedangkan zombie, ada sebagian dari mereka adalah mayat yang dihidupkan kembali, atau tergigit virus zombie. 

Comments