Menilai Kualitas Pendidikan Bukan Hanya dari Sekolah

Pendidikan di Indonesia rasanya masih belum menampakkan kualitasnya secara merata. Mungkin yang akan terbesit dari pikiran Anda adalah mutu setiap sekolah di negeri ini. Kota-kota besar cenderung memiliki kualitas sekolah yang baik dan tinggi. Sebaliknya, semakin meneuju ke pelosok daerah, banyak sekolah yang masih minim perhatian. Hal tersebut memang benar adanya. Namun, kualitas yang saya maksud di sini sebenarnya tak hanya dari segi para pendidik, melainkan juga yang dididik. Dan itu pun masih belum merata.

Sudah tidak diragukan lagi, sekolah-sekolah di kota besar banyak yang telah memenuhi standar yang baik dan benar. Gedung sekolah berdiri kokoh, bagus, dan asri. Buku-buku disediakan sesuai  kurikulum yang sudah ditentukan. Era digital sudah diimbangi dengan penggunaan teknologi. Guru-gurunya (katanya) sudah melalui pelatihan-pelatihan khusus. Belum lagi sistem akselerasi dan wajib menggunakan bahasa Inggris di kelasnya.

Orang tua murid memang harus rela menggelontorkan uang yang tidak kecil. Demi pendidikan buah hatinya. Namun, kenyataanya kadang tak seindah yang dibayangkan. Tak jarang kita menemui siswa-siswa, masih berseragam, tengah menghabiskan waktu di cafe-cafe. Ada pula yang hampir membuat orang tuanya pusing karena anaknya tak mau berangkat ke sekolah. Terlambat masuk dan tidak boleh ikut kegiatan pembelajaran kemudian memutuskan untuk "ah, pulang saja." Ketika jam sekolah usai, mereka biasanya pulang berombongan. Ternyata tawuran. 

Bagaimana dengan mereka yang tinggal di daerah pinggiran kota? Oh, jangan begitu mudah menyimpulkan mereka memiliki semangat yang tinggi. Secara garis besar, ada benarnya ada dari mereka yang memiliki keinganan tinggi untuk mengenyam pendidikan. Mereka yang selalu excited ketika ada tenaga pengajar hadir di tengah-tengah mereka dan membawa sesuatu yang baru. Di tengah gubuk-gubuk reyot yang dijadikan sebagai tempat untuk belajar. Menyambut ilmu dengan penuh senyuman.

Lainnya? Ada yang lebih memilih untuk menikah di usia muda. Pernah terjadi di depan mata saya. Mereka adalah pendatang yang merantau ke kota tempat saya tinggal. Kota yang dikenal dengan sebutan Kota Pendidikan. Usai lulus sekolah dasar, mereka berhenti mencari ilmu dan memutuskan untuk menikah. Latar belakang ekonomi dan minimnya kesadaran untuk menimba ilmu lah yang menjadi dalang di baliknya. Sungguh disayangkan.

Ada pula, mereka yang terhimpit masalah ekonomi, lebih memilih (atau harus memilih) untuk membantu orang tua mereka mencari sumber penghidupan. Meski sebenarnya mereka tentu ingin tahu bagaimana rasanya menggunakan seragam. Bagaimana rasanya bisa membaca dan mengetahui hal-hal brilian yang ada di bumi tempat ia tinggal. Hanya saja, kondisi mereka tidak memungkinkan. 

Dari beberapa hal tersebut, saya bisa mengambil gagasan bahwa kualitas sebenarnya tidak hanya dilihat dari sekolah dan tenaga pendidik. Mereka yang dididik pun harus memiliki kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Semua hanya berlandaskan pada kemauan.

If there is a will, there is a way. Begitulah pepatah menyebutkan. Bila ada keinginan, segala cara bisa saja ditempuh demi memperluas wawasan. Saya salut dengan anak-anak yang berasal dari keluarga tak punya namun senang membaca buku meski mereka mengambilnya dari tempat pembuangan sampah. Saya salut dengan para loper koran yang ternyata lebih pintar dari saya. Saya salut dengan mereka yang memiliki semangat dan tak malu untuk belajar di bangunan yang nyaris roboh. Atau rela basah menyebrangi sungai demi bersekolah. Meski jawaban yang mereka lontarkan terkadang salah dan begitu polos. Setidaknya, mereka menunjukkan adanya keinginan. 

Rasa malas dan kurangnya kesadaran untuk belajar tak akan membuat kehidupan lebih baik. Pemerintah sudah membantu dengan menyediakan bantuan semacam dana BOS, beasiswa bidik misi, dan buku gratis selama sekolah. Namun, bila pemahaman ini sudah dikalahkan dengan pemikiran pendek yang sudah mengakar, sulit rasanya untuk terwujud. Bila tak sanggup sekolah, setidaknya bangunlah jiwa-jiwa seperti Bob Sadino di negeri ini. 

Dan perlu diketahui, belajar tak hanya soal umur. Masih banyak mereka yang berusia lebih tua namun masih memiliki keinginan belajar. Apakah terhenti? Tidak juga. Saya yakin, di antara kita masih ada yang berjuang demi melanjutkan studi untuk merebut gelar sarjana, master, dan PhD. Masih banyak yang bertarung demi beasiswa yang akan mengantar mereka menjelajah negeri demi wawasan. Jadi, semangat dan keinginan kuat adalah kunci demi mendapatkan pendidikan. 

Comments


  1. Padahal sekolah dan belajar itu asyik loo... ;)

    ReplyDelete
  2. Baca tulisan mba Erlissa jadi merasa malu. Jangan-jangan wawasanku jg kalah dibanding loper2 koran.
    I do agree with you, semangat dan keinginan kuat adalah salah satu kunci untuk mendapatkan pendidikan yang baik😊

    ReplyDelete
  3. Setuju mbak Erlissa, semangat dan keinginan yang kuat kunci untuk mendapatkan pendidikan

    ReplyDelete
  4. Iya ya mbak. Ada murid saya yang sepertinya hanyak menghabiskan waktu saja di sekolah tanpa berusaha mendapatkan ilmunya. Ada beberapa .eskipun tidak semuanya begitu

    ReplyDelete
  5. Suka sama tulisannya, karena ilmu itu tidak tergantung umur

    ReplyDelete
  6. If there is a will there is a way... suka banget sama ini..

    ReplyDelete
  7. Saya dulu jaman sma pernah punya teman yang sekolah aja harus naik sepeda berkilo kilo kilometer, sempet mau mundur gak ikut ujian masuk PTN karena gak ada dana, tapi kami teman temanny mendukugnya. Berpuluh tahun kemudian berlalu, sekarang teman saya ini sudah cukup sukses secara karir di kantor dan kepala keluarga hebat untuk keluarganya. Bener banget kalo kemauan itu kunci dari sukses seseoranggggg

    ReplyDelete

Post a Comment