Obrolan Receh Teman Santap Siang

Jam sudah menunjukkan pukul 12.00, tanda bahwa kami sudah bisa menghentikan pekerjaan kami sejenak untuk beristirahat dan makan siang. Jakarta Selatan siang itu cuacanya membuat saya dan teman saya malas untuk keluar karena panasnya yang luar biasa memungkinkan untuk memanggang kami menjadi medium rare. Tetapi daripada perut ini protes terus-menerus untuk minta diisi, kami memutuskan untuk keluar saja dari zona nyaman dan ber-AC kami di kantor dan menembus the scorch di luar sana.

Dan benar.  Hari itu panasnya bikin makin cranky. Flared up the emotions of two starving ladies.

Iya, aku gunakan sedikit referensi seri Maze Runner.

Kami memutuskan untuk makan ayam bakar madu yang letaknya di belakang mall Cilandak Town Square. Cukup perjuangan sebenarnya untuk berjalan dari Wisma MRA tempat kami bekerja ke warung makan tersebut, tetapi kami tetap mau berjalan daripada harus makan di dalam mall di tanggal tua. Sesampainya di sana, warungnya ternyata penuh. Warung ayam bakar tersebut tempatnya tidak besar dan berada di pinggir jalan. Kami sering ke sana karena porsi makanannya yang sangat besar dengan harga yang terjangkau. Satu potong ayam besar dengan nasi serta tumis tempe dan kering kentang hanya dihargai Rp. 18.000. Masih bisa untuk tenaga kembali lagi ke kantor dengan jalan kaki.

“Sial, penuh lagi, mana panas banget,” batinku
Ternyata, di sana ada sekumpulan entah ibu-ibu arisan atau pengajian yang tengah duduk bercengkrama. Aku dan temanku duduk berdekatan dengan mereka. Temanku melepas blazer-nya, kepanasan. Belum lagi ditambah ramainya ibu-ibu ini yang ngobrol ngalor-ngidul, menemani kami sepanjang kami menyantap makan siang. Aku yang tidak berniat mendengarnya, mau tak mau jadi mengikuti obrolan mereka karena suaranya terdengar keras di warung yang kecil ini. Di tengah suapan kami, mereka bercerita dengan logat khas ­ibu-ibu yang aku rasa Betawi juga bukan.
“Bu, saya mau keripik singkongnya, dong.
“Yang rasa apa, Bu? Ada banyak, nih.”
“Rasa yang pernah ada, Bu”
“Ini yang dijual rasa yang terdalam, sih, jadi nggak pernah laku-laku tuh keripik! Hahaha”
“Pffftt.. ini pasti kebanyakan nonton sinetron dan baca feed facebook alay, nih,” batinku saat itu.
Temanku yang duduk di depanku sudah mulai cekikikan sendiri, tak tahan mendengarkan perbincangan lima orang ibu-ibu itu. Obrolannya pun semakin random.
“Sekolah Nusa lagi kasih biaya sekolah.”
“Beasiswa?”
“Iya, beasiswa. Tapi cuma buat yang otaknya nggak melipir-melipir.”
“Maksudnya nggak melipir gimane?”
Buat yang otaknya lempeng aje gitu maksudnya.”
Aku dan temanku hanya bisa bertukar pandang sambil menahan agar suara tertawa kami tidak terdengar.
Obrolan mereka masih berlanjut hingga makan siang kami sudah selesai. Temanku menghisap beberapa batang rokok sebelum kami pergi untuk kembali menembus teriknya matahari menuju kantor. Cerita selanjutnya adalah mengenai anak salah satu dari mereka yang pergi naik pesawat.
“Kemarin anak saya pergi ke Padang naik pesawat… apa tuh namanya, Simpati. Eh… bukan, Lion Star!”
“Lion Star? Lah, anak ibu pergi naik baskom?”
Pecahlah sudah tawaku dan temanku ketika mendengar merek perabot plastik itu disebut. Kami berdua meninggalkan warung dan berjalan kembali ke kantor sudah seperti orang gila yang tak berhenti tertawa sepanjang jalan. Cuaca panas siang itu sudah tidak kami hiraukan, karena kami mendapatkan makanan penutup untuk jiwa kami secara gratis kali ini.

Comments

  1. Kebayang banget gimana hebohnya itu emak2 jaman now. Wkwkwk

    ReplyDelete
  2. Hihihi... Saya ikut ngakak dah!

    ReplyDelete

Post a Comment