Langkah kaki Mona semakin mantap ketika ia hampir sampai di
depan bangunan yang didesain mirip dengan rumah joglo itu. Tangannya memegang
sebuah kamera, siap untuk membidik pemandangan di sekitarnya. Liburan sekolah kali ini, ia lebih memilih
untuk jalan-jalan sendirian sambil belajar , dan tujuannya kali ini adalah
Museum Layang-layang yang letaknya ternyata tak begitu jauh dari rumahnya.
Hanya sekali naik angkutan umum kea rah Pondok Labu, Cilandak, ia sudah sampai
ke tempat yang sudah lama ia rencanakan untuk dikunjungi.
Rasa kagum muncul
ketika Mona menjejakkan kaki ke dalam museum. Berbagai macam layang-layang dari berbagai pelosok
negeri tergantung rapi di dalam ruangan. Seperti namanya, Museum Layang-layang
menyimpan segala macam koleksi layang-layang baik itu tradisional, lokal,
maupun mancanegara dalam berbagai bentuk dan ukuran, lengkap dengan penjelasan
sejarahnya. Misalnya saja, ada layang-layang Kajang Lako, Angso Duo, dan Patah
Siku yang berasal dari Sumatera Utara. Ada pula layang-layang Dandang Laki dan
Dandang Bini dari Kalimantan yang ikut ditempatkan di sini.
Mata Mona
kemudian terpaku pada layang-layang berukuran
raksasa yang dipajang di salah satu sudut ruangan. Mona melihatnya dari dekat,
mengagumi guratan-guratan warna yang dilukis pada benda itu. Indah sekali.
“Yang itu namanya Megaray, dik”
Tiba-tiba ada suara yang mengagetkannya dari belakang.
Seorang perempuan cantik berbaju batik
berdiri sambil tersenyum kepadanya.
“Besar sekali ya, Kak. Bagaimana menerbangkannya, coba?” tanya
Mona ingin tahu
“Haha… Pastinya butuh tenaga yang besar. Layang-layang ini
adalah yang paling besar di Indonesia. Tidak diterbangkan, tetapi kami sering
pamerkan kalau ada acara ekshibisi. Ini ukurannya 9x26 meter,” jawabnya.
Mona semakin bersemangat. Kini ia berjalan menyusuri museum
ditemani oleh Mbak Dea, salah satu pengelola museum ini. Sembari berjalan, Mbak
Dea bercerita mengenai segala hal yang berkaitan dengan layang-layang,
perkembangannya dari zaman ke zaman. Salah satunya, ia bercerita tentang
pendirian museum ini. Museum Layang-layang didedikasikan untuk memperkenalkan layang-layang bukan hanya sebagai
permainan tradisional tetapi juga merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia. Kini museum ini sudah
menampuung sebanyak kurang lebih 600 buah layang-layang.
Setelah menjelajah isi museum, Mbak Dea mengajak Mona keluar
ruangan menuju samping pendopo. Di sana sedang ada kegiatan pembuatan keramik.
“Di sini bukan cuma museum yang melulu memamerkan koleksi.
Kami juga punya kegiatan unik. Ini contohnya, membuat keramik. Ada juga yang
membuat layang-layang. Mau mencoba, dik?”
Hari sudah semakin sore saat itu. Mona sesungguhnya ingin
sekali mencoba membuat layang-layang dan menerbangkannya di situ. Namun, ia
sudah harus kembali ke rumah. Jalan-jalan hari itu membuat Mona merasa senang.
Senang karena selain ia menambah wawasan, ia juga berhasil menaklukkan rasa
khawatirnya untuk jalan-jalan sendirian. Foto-foto yang berhasil ia tangkap
dengan kameranya menjadi kenangan liburan kenaikan kelas semester ini.
Comments
Post a Comment